FILSAFAT ILMU AL - GHAZALI
FILSAFAT
ILMU AL - GHAZALI
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Umum.
Dosen pengampu : Dra. Hj.
Siti Nurlaili M, M.Hum
Disusun oleh : Martono (132211123)
JURUSAN MANAJEMEN SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2013/2014
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Yang Maha
Mengetahui segala apa yang terlintas dalam hati, Maha Mengetahui setiap
kesulitan dan Maha Mendengar setiap permintaan, berkat rahmat dan hidayah-Nya,
penyusunan makalah yang berjudul “Filsafat Ilmu Al - Ghazali “ dapat terselesaikan
tepat pada waktunya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi
besar Muhammad SAW. Beserta keluarganya, sahabatnya dan seluruh umatnya hingga
akhir zaman.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi
tugas Mata Kuliah Filsafat Umum dengan dosen pengampu Dra. Hj. Siti Nurlaili M,
M.Hum. Namun tidak menutup kemungkinan, makalah ini juga dapat di manfaatkan
oleh mahasiswa/i umumnya, khususnya oleh penyusun sebagai sumber reverensi
tambahan dalam proses pembelajaran.
Tak ada gading yang tak retak, begitulah
adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati, penyusun mengharapkan kritik
dan saran yang membangun guna peningkatan penyusunan makalah dimasa mendatang.
Semoga kita semua selalu berada dalam
naungan dan lindungan Allah SWT. Amiin…….
Surakarta, 19 Mei 2014
Penyusun
(Martono 13.221.1.123)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI ................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang ........................................................................
1.2.
Rumusan Masalah
......................................................................
1.3.
Tujuan ....................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Filsafat ...................................................................................
2.2. Biografi Al-Ghazali
2.3. Hakikat Ilmu dan struktur filsafat ilmu Al-Ghazali ...........
2.4. Ontologi Filsafat Ilmu Al-Ghazali ...................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .......................................................................
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Filsafat adalah induk ilmu pengetahuan. Cikal bakal
dari segala ilmu pengetahuan. Adapun beberapa hal
manfaat dari mengkaji filsafat antara lain: Pertama, Menambah
wawasan ilmu pengetahuan, dengan bertambahnya wawasan maka bertambah cakrawala berpikir,
semakin mudah dan membantu menyelesaikan brbagai persoalan dengan lebih
bijaksana. Kedua, Filsafat di dalamnya memuat ide-ide yang fundamental, sehingga
dapat membawa manusia pada kesadaran akan hidup, peka terhadap lingkungan,
lebih sadar terhadap hak dan kewajibannya.
Ketiga, Dengan kemajuan IPTEK yang membawa
dampak positif dan negatif, kita ditantang untuk memberikan alternatif dari
kedua dampak tersebut (meminimalkan dampak negatif)
Oleh karena itu, kita sebagai intelektual
muda tak pantas rasanya jika kita tidak mempelajari ilmu filsafat. Diantara
sekian banyak tokoh filsafat yang ada dan terkenal, saya ingin memaparkan
pemikiran salah satu tokoh filsif islam. Tokoh tersebut adalah Al-Ghazali.
1.2.
Rumusan Masalah
1. Apa itu Filsafat? Dan bagaimana biografi
Al-Ghazali?
2. Bagaimana hakikat ilmu dan struktur filsafat ilmu
Al-Ghazali?
3.. Bagaimana ontologi Filsafat Ilmu Al-Ghazali?
1.3.
Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian filsafat
dan biografi Al-Ghazali
2.
Untuk mengetahui hakikat ilmu dan struktur filsafat ilmu Al-Ghazali
3.
Untuk Mengetahui ontologi filsafat ilmu Al-Ghazali
BAB
II
PEMBAHASAN
I.
A. FILSAFAT
Secara Etimologis, istilah filsafat (bhs.Indonesia) merupakan
padanan kata falsafah (bhs.Arab) dan philosophy (bhs. Inggris), Philosopie (Bahasa Perancis dan Belanda, Philoshophier
(Bahasa Jerman).
Kata ini berasal dari bahasa Yunani, philosophia, merupakan
kata majemuk dari philos dan sophia. Philos artinya cinta,
kekasih bisa juga sahabat, sedangkan sophia artinya kebijaksanaan
atau kearifan, bisa juga diartikan pengetahuan. Jadi secara harfiah artinya
mencintai kebijaksanaan atau orang yang mencintai pengetahuan, orang yang
mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.
Istilah philosophia
digunakan pertama kali oleh Pythagoras sekitar abad ke-6 SM (572-497SM).
Ketika diajukan pertanyaan apakah ia seorang yang bijaksana, dengan rendah hati
Pythagoras menjawab bahwa ia hanyalah orang yang mencintai pengetahuan.
Demikian juga pada masa Sokrates dan Plato, istilah ini sudah cukup populer.
Untuk memahami
filsafat, tentu tidak cukup hanya mengetahui asal-usul dan arti istilah yang
digunakan, melainkan juga harus memperhatikan konsep dan definisi yang
diberikan oleh para filsuf (filosof) menurut pemahaman masing – masing filsuf.
Konsep dan definisi yang diberikan filsuf tidaklah sama antara satu
filsuf dengan filsuf yang lain. Ada yang mengatakan bahwa “konsep dan
definisi filsafat yang ada, banyaknya sejumlah filsuf yang ada”.
B. BIOGRAFI AL – GHAZALI
Abu
hamid, Muhammad ibn Muhammad, ibnu Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali al-Tusi,
al-Imam al-jalil Hujjat al-Islam, lahir di Tus pada tahun 450 H/1058 atau 1059
M. Ia dijuluki Abu Hamid karena
mempunyai putra yang bernama hamid yang meninggal sewaktu masih kecil. Tidak
ada yang menyebut silsilah nenek moyang Al-Ghazali lebih dari tiga orang yang
namanya berbahasa arab. Apakah ia dar etnis Persi atau Arab masih
diperselisihkan, dan berakir pada kesimpulan yang tidak pasti.
Ia
terkenal dengan sebutan “Al-Gazzali” (dobel “z”), dan kadang disebut “Al-Ghazali”
(satu “z”). Tidak diketahui banyak tentang keluarga Al-Ghazali. ‘Abd
al-Gafir hanya menyebut nama ayah , Muhammad dan nama kakek, Muhammad. Ibn
Khalikan menambah nama datuk, ahmad. Subki dan martada memberi informasi lebih
banyak, yaitu bahwa ayah Al-ghazali, Muhammad, adalah seorang penenun bulu
domba dan menjualnya di pasar di Tus. Ia wafat diduga ketika Al-Ghazali berusia
6 tahun. Tetapi ibunya menyaksikan ketika bintang Al-Ghazali mulai menanjak dan
namanya mulai populer di mata ornag
banyak.
Pokok-pokok
pemikiran Al-Ghazali
1. Tahfut al-Falasifah. Garis besar dari karya ini adalah
Al-Ghazali anti fisuf. Atau dia telah mengkafirkan beberapa filsuf. Karena
mereka telah mengingkari Tuhan.
2. Mi’yar al—ilm, al mustasfa min ‘ilm ushul
dan al-iqtisad fi al-i’tiqad. Al-Ghazali menentang adanya norma-norma
etika yang bersifat universal(yang mengikat sekelompok orang, ras atau agama
tertentu), yang dapat dipahami oleh akal sehat manusia.
3. Al-ihya ‘ulumaddin. Al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan
batinlah dan bukan pendidikan intelek yang diperlukan manusia untuk mencapai
kebahagiaan.
II. HAKIKAT
ILMU DAN STRUKTUR FILSAFAT ILMU AL-GHAZALI
A. Hakikat ilmu sebagai problem filsafat
Untuk memahami ilmu dengan baik dan
menguasinya secara mendalam guna pengembanganya, pengetahuan mengenai hakikat
ilmu merupakan keharusan mutlak. Akan tetapi, hakikat ilmu dalam
mahiyyah/esensi-nya bukan masalah sederhana, melainkan problem filsafat yang
justru paling rumit dan fundamental serta telah menimbulkan perbedaan konsep
para filosof dalam aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Bahkan kaum
sufis menolak eksistensinya sebagai kebenaran objektif.
Ontologi ialah pengetahuan mengenai
hakikat yang ada. Ontologi merupakan pangkal masalah filsafat yang telah
mengundang aneka tafsiran para filosof yang secara tipologis. Biasa
dikategorikan ke dalam monisme versus dualisme, dan idealisme versus realisme,
dengan implikasi masing-masing dalam epistemologi dan aksiologinya.
Kaum idealis, yang mendominasi zaman Hellenisme(akhir
abad 4 SM) tidak menghargai pengetahuan empirik-sensual dan menganggap
ilmu-ilmu yang diperoleh secara intuitif-spiritual lebih tinggi dan berkualitas
ketimbang ilmu-ilmu rasioanal, termasuk yang dikembangkan kaum teolog/gereja.
Dikalangan Syi’i dan Sufi, terutama Isma’ili dan sufi batini (yang sering
disebut irfaniyyun), yaitu bahwa penetahuan
illiminatif (kasyfi/ilhami/isyraqi) yang sering disebut “ma’rifah” atau
“irfan”, lebih tinggi dan berkualitas ketimbang ilmu-ilmu empirikdan rasional yang
dikembangkankaum filosof, dan ilmu-ilmu yang diperoleh secara rasional dari
teks wahyu dan penalaran yang dikembangkan kaum mutakallimin dan yang semodel.
B. Struktur filsafat ilmu Al – Ghazali
Untuk memberi solusi yang tepat, kita
harus membangun filsafat ilmu di atas lima fondasi sebagai aksioma, postulat,
paradigma atau asumsi awal, yaitu: (1) bahwa ada sesuatu di luar mental subjek,
yang mempunyai substansi dan esensi sendiri; (2) untuk mengetahui/menangkap
substansi dan esensi segala sesuatu itu, selain Allah, ada jalannya; (3)
manusia sebagai subjek ilmu memiliki potensi dan kapabilitas untuk menelusuri
jalan itu; (4) “gambar” objek pada mental subjek dan pernyataanya, yang cocok
atau sesuai dengan realitas objek sendiri berdasarkan jalan tertentu, itulah
hakikat ilmu; (5) bahwa ilmu adalah untuk kemajuan dan kebahagiaan abadi umat
manusia.
Diatas kelima postulat itulah , filsafat
ilmu Al-Ghazali sebagai sebuah sistem yang komprehensif dibangun. Kata
“haqiqat” diterjemahkan sebagaimana asliya (hakikat). Al-Ghazali sering memakai
kata haqiqat, mahiyyah, dan huwiyyah yang semakna sengan “esensi”, yakni
”satiyyat al-syai” (jati diri sesuatu)
Filsafat ilmu Al-Ghazali perlu didekati
secara historis-kronologis untuk menangkap struktur prosesialnya dan secara
sistematik-filosofis untuk menangkap struktur esensialnya.
Dari sudut struktur prosesial, ia
mencakup sembilan langkah sistematik yang, karena itu, bisa disebut sebagai
“Sistem Sembilan Tahap”, yang terbagi tiga, sbb:
I.
Tahap pra-penelitian
1. Identifikasi masalah
2. Penetapan tujuan penelitian (tercapainya ilmu)
3. Intropeksi dan skeptik
II.
Tahap proses penelitian
4. Tahap ontologis Dasar: Asumsi Dasar (Yaqiniyyat)
III.
Tahap epistemologis
5. Metodologi (sarana dan cara) mencapai ilmu fase I;
6. Penyimpulan fase I (sebagian Final, berupa ilmu yaqini atau dugaan kuat,
sebagian tentatif);
7. Aplikasi ilmu praktis atau zann (dugaan kuat) untuk penyempurnaan jiwa
8. Tercapainya kasyf (musyahadah yaqiniyyah) dan ilmu yaqini sebagai pembuktian
dan ilmu final;
IV.
Tahap akhir (aksiologis akhir)
9. Tercapainya kebahagiaan abadi (sa’adah abadiyyah)
C. Hakikat Imu Menurut Konsep Al-Ghazali
Mengenai hakikkat ilmu secara mutlak,
para ulama islam berbeda pandangan apakah ia merupakan sesuatu yang daruri,
yang dapat dikomsepsi hakikatnya begitu saja sehingga tidak memerlukan
definisi, atau nazari tetapi sulit
mendefinisikanya. Melainkan hanya bisa lebih jelas dikonsepsi dengan
analisis/klasifikasi dan contoh.
Al – Ghazali lebih banyak muncul sebagai
seorang filosof ketimbang sebagai seorang mutakallim. Dari klasifikasi “ada”
(wujud) pada empat derajat, yaitu “ada” sesuatu pada realitasnya sendiri, “ada”
dalam konsep mental yang disebut ilmu,”ada’ dalam lafazh (ungkapan lisan), dan
“ada” dalam tulisan, Al-Ghazali berpendapat bahwa makna lebih penting ketimbang
lafazd. Karena itu mengenai definisi, ada tiga macam definisi, yaitu defenisi
esensial (haqiqi), defenisi formal-defferensial (rasmi), dan definisi
redaksional-eksplanatif (lafzi). Karena fungsi dan tujuan deinisi memperjelas
apa yang belum jelas , ia hany diperlukan untuk mengonsepsi sesuatu yang tak
dapat dikonsepsi secara a priori seperti
satuan makna simpel.
Perlu diingat bahwa Al-Ghazali tidak
membedakan ilmu dengan ma’rifah seperti dalam tradisi umumkaum sufi.memang ia
pernah menyebutkan bahwa secara etimologis , ada sedikit perbedaan antara
keduanya, dan ia tidak keberatan atas pemakaian terma ma’rifah untuk konsep
(tasawur), dan ‘ilm untuk assent (tasqid)
Disini Al-Ghazali sama dengan kaum bayaniyyun, kususnya mutakallimin, yang menyusun ilmu kalam
dalam empat bagian sistematik, yaitu aqidah Uluhiyyah/Rubbubiyah, ‘aqidah
nabawiyah , ‘aqidah sam’iyyat, dan Imamah.
Bagi Al-Ghzali, ada tiga macam tasqid (assent) secara gradual. Pertama;
zann (dugaan kuat), yaitu kecondongan
jiwa kepada salah satu dari dua perkara dengan mengakui kemungkinan benar
sebaliknya, tetapi kemungkinan ini tidak menghalangi kecondongan pada yang
pertama. Kedua, i’tiqad jazim
(kepercayaan yang teguh/tetap), yaitu tasqid yang pasti, yaitu seseorang tidak
ragu dan tidak merasa adanya kemungkinan benar pada kepercayaan lain.ketiga ilmu yaqini, tasdiq yang kebenaranya
diyakini secara pasti, disertai keyakinan yang pasti pula bahwa keyakinannya
yang pasti itu benar, yakni keduanya tidak mengandung kemungkinan lupa,salah,
atau keliru dan tak terbayang pendapatnya akan berubah dengan alasan apapun.
III. ONTOLOGI
FILSAFAT ILMU AL-GHAZALI
A. Hakikat “yang ada”
Ontologi (yunani: on = being, logos =
logic), adalah teori tentang “(yang) ada” (being) dari sudut hakikatnya.
Asumsi dasar pertama filsafat ilmu
Al-Ghazali adalah bahwa segala sesuatu mempunyai hakikat (esensi), sedangkan
asumsi dasar keempat bahwa ilmu adalah tercetaknya gambar atau salinan objek
pada mental subjek, atau tersingkapnya realitas objek secara pasti dan sesuai
dengan realitas objek sendiri
berdasarkan metode ilmiah tertentu.
Al-Ghazali menegaskan bahwa secara ilmiah
mengetahui keberadaan Allah tidak termasuk ilmu daruri (a priori), melainkan ilmu nazari (inferensial), meskipun di akuinya bahwa keimananya kepada
Allah, Kenabian dan hari akhir secara lobal sebagai pangkal, terinternalisasi
dalam dirinya bukan berdasarkan argumen tertentu, tapi oleh sebab-sebab yang kompleks
sepanjang proses pencarian kebenaran. Filsafat ilmu Al-Ghazali merupakan
moderasi atau sintesis antara skeptisisme absolut dan dogmatisme. Dengan
demikian ada dua macam ontologi Al-Ghazali.
Bagi Al-Ghazali, wujud merupakan monsep
dasar yang paling umum meliputi semua maujud (yang ada). Wujud (eksistensi)
tidak termasuk esensi sesuatu, A-Ghazali mengajukan argumen dimungkinkannya
adanya esensi sesuatu dalam konsep mental, padahal ia tidak mempunyai
eksistensi dalam realitas aktual.esensi segi tiga misalnya, adalah bentuk yang
dibatasi oleh tiga sisi. Ia boleh ada dalam konsep mental, padahal tidak
mempunyai eksistensi dalam realitas aktual.
Al-Ghazali mengklasifikasikan “ada”
kedalam empat kategori gradual berikut segala makna dan implikasi yang dipegangnya
secara konsisiten. Keempat kategori itu adalah “ada hakiki” atau “zati”, yaitu
adanya sesuatu dalam realitasnya sendiri atau “ada dalam mental subjek yang
mengetahui” atau yaitu menjelmanya “gambar” atau “salinan” objek dalam mental
subjek sebagaimana realitas subjek sendiri, yang disebut ilmu, “ada dalam
lafazh lisan” dan “ada dalam tulisan”.
Al-Ghazali membedakan antara “ada dalam realitas aktual / ada objektif”, dengan
“ada dalam konsep mental / ada subjektif”. Ada objektif merupakan refleksi dari
asumsi ontologis bahwa segala sesuatu mempunyai esensi, sedangkan ada subjektif
merupakan refleksi dari asumsi epistemologis bahwa esensi segala sesuatu itu
dapat ditangkap manusia.
Al-Ghazali membangun sebuah bangunan
ontologi yang digalinya dari Al-Quran dengan memanfaatkan bahab-bahan lain
diatas landasan logika peripatetik yang dituntaskan dengan “religious experiences”.
Ontologi Al-Ghazali merupakan sebuah kombinasi dari tiga unsur : teologi islam
(kalam) sebagai unsur dasar, ontologi filosof, dan teosofi. Esensi dari
ontologi tersebut adalah dualisme dengan prinsip tauhid menurut konsep
puncaknya wahdad al-syuhud (kesatuan penyaksian). Sifat dasar ontologi
Al-Ghazali adalah konsep sintetik-integralistik atau moderasi dalam segala hal.
Al-Ghazali mengenal adanya dua realitas
fundamental dengan pangkal dan derajat yang berbeda. Pertama, realitas mutlak
(al-Haqq), yakni Allah, Zat yang wajib ada karenya Zat-Nya, yang Qadim-Abadi,
serta Maha Suci dan Maha Esa dengan segala sifat-Nya yang qadim-abadi, sebagai
pangkal wujud segala sesuatu segala Dia. Kedua realitas relatif, yakni selain
Allah, taitu alam yang mungkin ada pada zatnya dan diciptakan Allah dari tiada
menjadi ada.
B. Hukum Kausalitas
Al-Ghazali menegaskan secara umum:
“Setiap maqdur (perbuatan yang dihasilkan
qudrah) dikehendaki, sedang setiap yang baru adalah maqdur, maka setiap yang
baru dikehendaki. Keburukan, kekufuran, dan kemaksiatan adalah baru, maka ia
pasti dikehendaki. Apa yang dikehendaki Allah adalah ada dan apa yang tidak
dikehendaki-Nya adalah tidak ada.”
Empat
teori yang diajukan Al-Ghazali:
Pertama, teori takdir yaitu bahwa
terjadinya fenomena alam, dalam hal ini simultanitas tersebut, adalah karena
takdir Allah yang terdahulu yang membuatnya simultan. Kedua, teori Asy’ariah
yang menolak adanya kepatian absolut yang inheran didalam benda-benda, yaitu
bahwa pencipta fenomena alam seperti hangusnya kapas ketika bersentuhan dengan
api adalah Allah. Ketiga, teori Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkad, yaitu bahwa
sesuatu mempunyai potensi dan efektivitas yang ditetapkan Allah padanya,
seperti sifat esensial api adalah membakar. Tapi mungkin saja seorang nabi yang
dilemparkan ke dalam api tidak hangus, apakah dengan cara Allah atau malaikat
mengubah sifat api ataukah sifat nabi ketika itu. Keempat, teori filosof berupa
teori ketertakhinggaan prinsip kesiapan materi menerima form oleh sebab-sebab yang belum diketahui atau tak terjangkau
manusia.
Berkaitan dengan qodim-nya alam,
Al-Ghazali memberikan kritikan sebagai berikut:
1. Seseungguhnya alam ini diciptakan Tuhan dengan iradah-Nya yang qodim.
Wujud alam dikehendaki ketika ia berada di dalam wujud sebelumnya karena Tuhan
belum menghendaki. Apa yang tidak memungkinkan pendapat ini diterima?
2. Sesungguhnya di alam ini terdapat banyak yang baru dan bersumber dari
yang baru maka terjadi rentetan yang tidak berkesudahan. Hal ini mustahil dan
tidak diterima akal. Sekiranya yang baru ini mempunya ujung penghabisan, ujung
itu yang qodim.
C. Potensi-potensi diri manusia
Dalam filsafat ilmu Al-Ghazali, manusia
menduduki posisi utama, baik secara subjek maupun objek ilmu, dan mengetahuinya
termasuk media penting dalam mengetahui Allah. Dari berbagai kitabnya dapat
disimpulkan bahwa menurutnya manusia adalah makhluk yang terbentuk dari jasad
dan roh dengan sejumlah potensi dan naluri tertentu, yang berwujud sebagai
identitas ketunggalan dalam mutlaknya kebersamaan, dan berfungsi sebagai abdi sekaligus khalifah (mandataris)
Allah di bumi. Ia dicipatakan pada posisi antara hewan dan malaikat dan mengandung sifat-sifat kehewanan,
kesetanan, kemalaikatan, dan ketuhanan. Dengan demikian, ia sering
didefinisikan dengan “hewan berfikir”, merupakan miniatur alam semesta.
Meskipun badan merupakan bagian integral dari manusia, inti hakikat manusia
adalah rohnya, badan merupakan kendaraan, sedangkan potensi-potensi dan
naluri-nalurinya merupakan alat secara kompulsif. Kesempurnaan khas manusia
adalah akalnya dan menangkap esens segala sesuatu sesuai realitanya. Ini
berbeda dengan mutakallimin yang memandang nafs
manusia hanya sebagai aksiden dan jasad.
IV. Epistemologi
Filsafat Ilmu Al-Ghazali.
A. Sarana pencapaian ilmu
Al-Ghazali mengenal tiga sarana pokok
bagi manusia untuk memperoleh ilmu, yaitu pancaindra (al-hawas al-khams)
berikut common sense (khayal) dan estimasi, akal, dan intuisi. Pancaindra
bekerja di dunianya, dunia fisissensual, dan berhenti pada batasan akal. Akal
bekerja di kawasan abstrak dengan memanfaatkan input dari pancaindra melalui
khayal dan wahm, dan berhenti pada batas kawasan transendental (tak terjangkau
akal) yang sesudah mengetahui Allah dan Rosul-Nya harus diserahkan kepada Rosul
atau diperoleh penjelasanya melalui mukasyafah-musyahadah.
Konsep Al-ghazali tentang pancaindra
sebagai sarana pencapaian ilmu dapat dijelaskan sebagai berikut; Pertama,
pancaindra merupakan sarana penangkap yang pertama muncul dalam diri manusia.
Disusul dengan daya khayal yang manyusun aneka bentuk susunan dari
partikular-partikular yang ditangkap indra. Kedua, semua maujud yang menjadi
objek ilmu terbagi dua jenis, yaitu mahsusat(dunia
empiris sensual), yakni semua objek indra penglihatan, indra pendengar,indra
perasa, indra pencium, dan indra peraba, dan ma’lumat (yang diketahui dengan akal). Ketiga pancaindra mempunyai
kelemahan dan kekurangan-kekurangan tertentu dibanding akal.
Menurut Al-Ghazali, akal bisa dipakai
untuk empat arti. (a) Garizah (instict), yang dengannya manusia siap menangkap
ilmu-ilmu a priori dan ilmu-ilmu inferensial yang dihasilkan dari eksperimen.
(b) Ilmu-ilmu yang muncul secara aktual pada anak mumayyiz, yaitu hukum-hukum
akal yang termasuk ilmu-ilmu a priori. (c) Ilmu-ilmu yang diperoleh dari
eksperimen mengenai ihwal sesuatu, dan (d) Keberhasilan garizah itu dalam
mengetahuiakibat segala sesuatu dan mengendalikan naluri syahwat secara
proporsional.
Jika manusia ibarat kerajaan, qolbu
adalah pusat(istana), sedang akal adalah rajanya, yang semua potensi lahir dan
batin adalah aparatnya, dan semua organ tubuh adalah rakyatnya. Ini sesuai
realitas bahwa meskipun dalam qalbu terkumpul empat unsur sifat, tetapi ciri
khas kamanusiaan adalah ilmu dan ikhtiar pada akal.
B. Metodologi pencapaian ilmu
Menurut Al-Ghazali, ilmu yang muncul
dalam qalbu manusia diperoleh dengan dua cara, yaitu daruri (a priori), dan
bukan darurui, yakni ilmu-ilmu perolehan baru. Jenis pertama ada dalam diri
manusia sejak lahir secara potensial, tetapi baru muncul secara aktual ketika
akal telah sempurna, dan ketika muncul copy
objek empiri-sensual dalam khayal yang dilihat akal. Jenis kedua muncul dengan
dua cara,yaitu : (a) Hujumi (spontanous),
tanpa diusahakan, melainkan dicampakkan ke dalam qalbu dari arah yang tidak
diketahui yang bersangkutan. (b) iktisab (usaha langsung), baik berupa istidlal (mencari petunjuk), atau nazr
(penalaran,peneletian,penyimpulan), mauoun berupa ta’alum (belajar).
Teori diatas merupakan putusan akhir
Al-Ghazali setelah menganalisis dengan cermat dan akurat ilmu-ilmu dan
metodologi yang berkembang sampai masanya yang ketika hukum kausalitas dan
potensi-potensi diri manusia. Ini terlihat misalnya dalam Ihya’ dan Mizan
al-Amal. Dalam kedua kitab ini, Al-Ghazali mendeskripsikan dua teori pencapaian
ilmu. Pertama teori iktisabi yakni
bahwa ilmu diperoleh dengan cara belajar dan peneletian. Kedua teori ilhami yakni: bahwa ilmu diperoleh
melalui ilham dengan proses mujahadah (perjuangan spiritual). Caranya yaitu
takhliyah(membersihkan diri dari segala sifat tercela) dan tahliyah (mengisinya
dengan sifat-sifat terpuji).
Dari sudut proses dan prosedur pencapaian
ilmu, filsafat ilmu Al-Ghazali secara
umum bisa disebut sebagai “sistem sembilan tahap”, yang terbagi tiga fase
yaitu: (a) Fase Pra-Penelitian, (b) Fase Epistemologi I, (Metodologi Rasional),
dan (c) Fase Epistemologi II (Metode Intuitif/Kasyfi).
V. Aksiologi Filsafat Ilmu Al-Ghazali
A.
Kaidah-kaidah penerapan ilmu dalam prakis
Dalam filsafat ilmu Al-Ghazali terdapat sedikitnya tujuh prinsip
penerpan ilmu, yaitu prinsip objektivitas-konstektualitas, ilmu untuk amal dan
kebahagiaan,prioritas, proporsionalitas, ikhlas, tanggung jawab moral dan
profesional, dan kerja sama ilmu dengan politik.
Al-Ghazali membedakan secara ketat antara ilmi-ilmu
faktual-teoritis dan ilmu-ilmu prakis, yaitu ilmu-ilmu faktual objektif
sepenuhnya dan sebab itu, dalam dimensi ontologi dan epistemologinya bebas
nilai atau netral, sehingga ia netral. Akan tetapi, tidak berarti bahwa semua
fakta dapat diungkapkan dan semua ilmu faktual dapat diaplikasikan begitu saja,
melainkan dalam dimensi aksiologinya harus mempertimbangkan konteks
implikasi-implikasinya sesuai tuntutan norma-norma etis-yuridis.
Bagi Al-Ghazali, ilmu bukan untuk ilmu atau kekuasaan, melainkan
untuk amal dan kebahagiaan. Ilmu-ilmu faktual dasar, baik a priori maupun
inferensial, merupakan landasan ilmu amali, dan amal merupakan metodo prakis
untuk mencapai kebahagiaan abadi.
Al-Ghazali menganjurkan agar penerapan ilmu dilakukan dengan
memperhatiakan prinsip prioriatas, seperti mendahulukan kewajiban individual
dari kewajiban komunal, mengutamakan mayoritas ketimbang minoritas dikala
kepentingan keduanya kontradiktif dan tak dapat dikompromikan sesuai prinsip
maslahat. Ilmu harus ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya, yakni yang
pasti pada kepastiannya dan yang tidak pasti pada ketidakpastiannya.
Menurut Al-Ghazali, otoritas dan objektivitas ilmiah tidak dapat
dicampuri oleh otoritas dan kepentingan politik apapun, dan ilmu bukan untuk
kekuasaan. Ilmu dan politik saling menunjang. Ilmu merupakan asas, sedangkan
otoritas politik sebagai penjaga. Sesuatu yang tanpa asas pasti akan roboh, dan
sesuatu tanpa penjaga pasti akan musnah. Dengan demikian, otoritas politik
merupakan alat untuk melindungi, mengembangkan, dan merealisasikan ilmu, yakni
hanya terbatas pada dimensiaksiologinya.
B.
Strategi pengembangan ilmu
Al-Ghazali menganut beberapa prinsip yang bisa dipandang sebagai
strategi pengembangan ilmu untuk mencapai sasaran terpeliharanya bangunan
ilmu-ilmu yang umum-mutlak dan memungkinkan pertumbuhan pengetahuan-pengetahuan
baru yang sehat sebagai sarana menuju kebahagiaan abadi. Prinsip-prinsip itu
adalah prinsip integralisme, “trilogi” pengembangan ilmu, prinsip memperluas
“kawasan kemungkinan”, prinsip mengutamakan falsifikasi, meminimalisasi
pengkafiran dan memperluas rahmat, prinsip substasnsialitas-utilitas.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Menurut Al-Ghazali hakiakt ilmu adalah terhasilkanya salinan objek
pada mental subjek sebagaiman realitas objek sendiri, yang dalam bahasa
dinyatakan dalam bentuk proposisi-proposisi yang pasti dan sesuai dengan
realitas objek berdasarkan metode ilmiah tertentu, untuk kemajuan dan
kebahagiaan manusia secara pribadi.
2.
Essensi ontologi Al-Ghazali adalah paham dualisme islami yang
mengakui dua realitas fundamental, yaitu Allah dan selain Allah,yang tersusun
menjadi empat kawasan realitas: Dunia Fisis (‘Alam Syahadah), Dunia Proses
Mental (‘Alam Jabarat), Dunia Metafisis (‘Alam Malakut), dan Realitas mutlak
(lahut), dengan prinsip tauhid menurut konsep yang puncaknya wahdat al-syuhud.
3.
Epistemologi Al-Ghazali bisa disebut “sistem sembilan tahap” yang
terdiri dari tiga fase, yaitu fase pra-peneletian, fase epistemologi I, fase
epistemologi II.
4.
Al-Ghazali melihat bahwa ilmu-ilmu faktual pada dasarnya objektif
dan netral (bebas nilai), tetapi ilmu bukanlah tujuan melainkan alat untuk kemajuan
dan kebahagiaan manusia secara abadi, dan tidak ada sesuatupun dalam realitas
empirik yang bebas konteks.
5.
Filsafat ilmu Al-Ghazali cukup orisinal, sebagai hasil proses
intelektual yang sangat terpengaruh oleh paradigma metafisis yang dianutnya,
dan oleh konteks sosio-historis pada masanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar,
Saeful, 2007, filsafat ilmu al-ghazali;dimensi aksiologi dan aksiologi,
bandung, pustaka setia
Sholihin,
Muhammad, 2008, filsafat dan metafisika dalam islam, yogyakarta, narasi
Sofyan,
Ayi, 2010, kapita selekta filsafat, bandung, pustaka setia
Abdullah,
M.Amin, 1997, falsafah kalam, yogyakarta, pustaka pelajar
Title: FILSAFAT ILMU AL - GHAZALI
Rating: 10 out of 10 based on 24 ratings. 5 user reviews.
Writed by Martono
Rating: 10 out of 10 based on 24 ratings. 5 user reviews.
Writed by Martono